Rabu, 04 Juli 2012

Tuhan, Berikan Aku 36 jam Sehari.

"Mama mau kemana? Mama kan baru pulang?"

Kalimat yang keluar dari mulut mungil putriku, saat dia membuka mata pagi ini. Masih di antara mimpi dan sadarnya. Saat dia melihatku telah rapi dalam baju kerjaku.

Tertegun; antara kaget dan merasa bersalah.

Banyaknya hal yang sedang aku jalani di kantor baru, membuatku sering harus pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Selain jarak yang bertambah jauh, juga banyaknya bidang yang harus aku tangani. Beberapa masih merupakan hal yang sangat baru, dan aku harus belajar banyak.

Tapi terlebih dari semua itu, aku membutuhkan suatu hasil nyata dari tingginya harapan yang ditetapkan orang atas diriku.

Banyak yang mengatakan padaku bahwa aku harus memberi pengertian pada putri kecilku, kalau sekarang keadaan sudah berubah. Kantor baru, jarak yang jauh, kemacetan, makanya aku harus pergi pagi dan pulang larut malam. Sudah. Aku sudah melakukan itu. Tapi bagi putri tunggalku, itu tidak masuk di akalnya. Cara berpikir anak usia lima tahun-nya belum memungkinkan untuk menerima hal baru ini secepat itu.

Aku tidak akan memaksanya menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup kami. Tapi aku juga bukannya membiarkan putriku tumbuh menjadi anak yang manja dan tidak mandiri. Bukan. Aku pasti akan mendidiknya menjadi gadis yang tegar dan mampu bertahan menghadapi apapun. Hanya saja aku sering merasa bersalah, karena keputusan yang aku ambil, telah membawanya memasuki kehidupan yang seharusnya tidak dia alami.

Aku bukan mama yang sempurna. Aku telah menorehkan banyak luka di masa kecilnya. Aku telah membawanya dalam kehidupan yang tidak ideal. Tapi saat ini, hal itulah yang aku pikir adalah hal terbaik baginya, dan bagiku. Aku tetap menginginkannya tumbuh dan berkembang sempurna dalam keterbatasan keadaan ini. Rasa bersalahku, membuat aku ingin melakukan lebih dari apa yang aku lakukan saat ini. Membuatku selalu merasa aku masih kurang dan belum melakukan apa-apa bagi putri kecilku.

Aku berusaha keras membagi sisa waktu yang aku miliki dengannya. Berbagi cerita, dan tawa. Walau itu hanya sesaat sebelum dia terlelap, atau sesaat di pagi hari, sebelum kami menjalani aktivitas kami masing-masing. Tetap saja itu sangatlah kurang. Kelelahan menjadi musuh utamaku. Namun setiap kali aku dengar rengekan manjanya saat aku meninggalkan rumah, atau saat kami bercakap-cakap di telepon, di sela waktu makan siangku, membuatku merasa sedih. Kehadiranku di sisinya sangatlah kurang.

Aku tidak mengeluh mengenai apa yang telah aku pilih. Aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan pagi ini.
Jadi, Tuhan, mungkinkah aku punya 36 jam dalam sehari?

040712

Tidak ada komentar:

Posting Komentar