Ini adalah kisahku....
Yang aku tuturkan untuk menjawab
semua "mungkinkah" dan "mengapa"
Bacalah...
Teruskan jika suka,
namun berhentilah jika tak mampu meneruskan.
Karena...
Aku hanya ingin menuliskannya,
sebagai bagian dari perjalanan hidupku...
Awal dari semuanya...
Iwan dan aku, kami adalah sepasang manusia dengan sejuta perbedaan. Aku seorang wanita yang talk-active, temperamental, spontan dan moody. Sedangkan Iwan, seorang pria yang tenang, dewasa, selalu dapat mengendalikan perasaannya, namun sedikit sensitif. Kalau digambarkan, aku adalah api dan Iwan adalah air. Itu baru dari segi karakter. Masih ada lagi perbedaan kami. Kami berasal dari dua suku yang karena warisan sejarah, menjadi dua suku yang selalu bertolak belakang dalam hal apapun. Baik itu dari tradisi, cara hidup, dan cara memandang satu sama lain. Lalu untuk masalah keyakinan, kami masing-masing memeluk keyakinan yang berbeda, dan lagi-lagi, dua keyakinan yang sangat bertolak belakang secara ekstrem, khususnya di Indonesia.
Kami berawal dari sepasang sahabat, yang sering berbagi tawa, canda dan akhirnya cerita. Sepasang sahabat yang dipertemukan karena luka yang sama. Kegagalan kami dalam berumah tangga.
Iwan adalah tempatku bercerita, bertanya atau sekedar bersandar pada saat lelah menghampiri. Banyak hal baru yang aku temukan saat aku berbagi dengannya. Caranya memandang hidup, perjuangannya dalam mengatasi hidup, dan perjuangannya dalam mengalahkan egonya sendiri, membuatku memandangnya secara lebih. Melalui berbagai kisahnya, aku tahu betapa hebat perjuangannya menjalani hidup. Mengorbankan ego, demi dapat memahami arti hidup secara lebih. "Naik kelas" begitu Iwan selalu dengan candanya, menjelaskan mengapa dia melakukan semua itu. Mengenalnya lebih jauh, membuat mataku terbuka, bahwa hidup itu indah. Seperti yang selalu dikatakannya "Life is beautiful..."
Iwan adalah seorang yang jujur. Baginya, kejujuran ada di atas segalanya. Itu prinsip terpenting dalam hidup ini, katanya.
Dari sepasang sahabat, kami menapak ke hubungan yang lebih serius.
Sebuah hubungan yang aku sembunyikan, karena keadaanku, karena ketakutanku. Aku tahu, ini sangat tidak adil bagi Iwan. Tapi, sekali lagi, dengan kedewasaannya, dia dapat menekan rasa tidak puasnya akan hal ini. Dia menerima, walaupun aku tahu dengan berat hati, tapi dia tetap menerimanya, dan menjalani hubungan ini, serta menjadikanku wanita yang paling berbahagia di dunia.
Dia mengajariku banyak hal baru. Termasuk mengungkapkan rasa sayang kita kepada orang-orang yang kita sayang, selalu, setiap saat. Karena, katanya, cinta adalah hal indah yang harus selalu berulang kali diungkapkan dan dikatakan. Dia juga mengajariku menulis. Menumpahkan apa yang aku rasa, dalam bentuk tulisan. Banyak tulisan di awal blog ini, adalah gambaran betapa bahagianya aku memiliki Iwan. Betapa berwarnanya hidupku.
Hubungan kami berjalan. Dan tidak selalu manis. Banyak masalah yang timbul. Mungkin karena memang salahku, memulai sebuah hubungan yang aku tutupi. Pertentangan dari berbagai pihak yang sudah "mencium" adanya hubungan diantara kami berdua, sedikit banyak mengganggu kami. Iwan, adalah sebuah pribadi yang "merelakan pasangannya untuk berbahagia, dengan cara apapun" sedangkan aku, aku adalah sebuah pribadi yang percaya bahwa "kita harus berjuang mempertahankan cinta, dengan cara apapun".
Saat itu, aku kadang merasa bahwa Iwan menyerah. Ya, memang saat ini aku tahu, aku salah. Namun, saat itu, hal itulah yang aku rasakan.
Banyaknya masalah, dan banyak pertengkaran yang kami lalui. Hingga akhirnya hal itu terjadi. Aku berpaling dari Iwan. Jenuh, lelah, menghadapi ketidakpastian dalam menjalani hubungan, pertentangan dari banyak pihak, ditinggalkan teman-teman terdekat, membuatku sejenak berpaling dari Iwan. Berpaling ke sebuah sosok yang memiliki banyak persamaan denganku. Sosok yang semula aku kira, akan dengan cepat merubah hidupku, sosok yang berasal dari sebuah dunia yang berbeda. Aku berpaling, demi suatu hal yang semu dan benar-benar baru. Aku berpaling dan menorehkan luka, serta mengukir kenangan buruk yang tak mungkin terlupakan, di hidup Iwan.
Saat Iwan mengetahuinya, aku memohon dan memohon untuk kembali. Memohonnya untuk menerimaku lagi. Walaupun aku tahum akan sulit bagi Iwan untuk dapat menerima sebuah perselingkuhan. Tapi, karena cintanya yang besar, dia menerimaku, memaafkanku, dan sekuat tenaga berusaha untuk menyembuhkan luka hatinya. Dengan caranya, dia mengajariku untuk kembali ke jalan yang "lurus" dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun aku, tetap mengulanginya, sampai kali ketiga. Kecil harapanku, Iwan mau memaafkan dan menerimaku lagi. Aku tak mampu memohon, hanya memendam rasa sakit. Sakit, akibat perbuatanku sendiri
Hubungan kami berubah sejak kali pertama Iwan mengetahui perselingkuhanku. Tak ada lagi rasa percaya dari Iwan untukku. Pertengkaran makin kerap terjadi. Aku sadar, aku telah menorehkan luka yang terlalu dalam baginya. Namun sebesar apapun kesalahan yang telah aku lakukan, selalu Iwan memaafkan dan menerimaku lagi. Hal ini lebih menyakitkan bagiku, daripada makian atau teriakan. Dihantui rasa bersalah, adalah perasaan yang paling tidak mengenakkan. Menyiksa.
Iwan sering kali bertanya, mengapa sulit bagiku untuk lepas dari sosok itu. Dan aku, tak tahu harus menjawab apa. Karena semua kuawali tanpa pikir panjang. Hanya sejenak pelarian dari himpitan masalah. Banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bukan karena aku berbohong, tapi karena aku memang sekuat tenaga sedang berusaha melupakannya.
Hari demi hari, kulalui dengan tudingan dan desakan pertanyaan, yang mengajakku selalu menengok ke belakang, menggali ingatan yang sedang berusaha aku kubur dalam-dalam. Membuat sosok itu tetap "hidup" di antara kami.
Sungguh, ingin sekali aku melupakannya. Aku malu dengan kesalahanku. Aku malu dengan perselingkuhanku.
Ingin sekali kuraih kepercayaan Iwan. Ingin sekali kudapat cintanya. Walaupun aku sadar, hal itu tak mungkin sama, seperti saat pertama, karena aku terlanjur melukainya.
Sering kali ragu saat ingin mengungkapkan rasa cinta pada Iwan. Karena aku takut, jangan-jangan hal ini malah akan mengorek luka lamanya yang belum kering. Malu, karena bagaimana mungkin aku mengatakan cinta, setelah semua yang aku lakukan kepadanya. Kata-kata, sering kali menjadi bumerang bagiku. Aku takut.
Bulan ke 27 dari hubungan yang telah kucoreng, masih kujalani dengan harapan besar, akan masa depan kami. Harapan yang besar untuk bahagia kami. Aku masih berharap.
Itulah Iwan dan Aku. Siapapun yang membacanya, ketahuilah, bahwa aku mencintainya, dan sedang berusaha mempertahankannya di sisiku. Jangan ambil, jangan pisahkan. Karena aku mencintainya.
Iwan adalah seorang yang jujur. Baginya, kejujuran ada di atas segalanya. Itu prinsip terpenting dalam hidup ini, katanya.
Dari sepasang sahabat, kami menapak ke hubungan yang lebih serius.
Sebuah hubungan yang aku sembunyikan, karena keadaanku, karena ketakutanku. Aku tahu, ini sangat tidak adil bagi Iwan. Tapi, sekali lagi, dengan kedewasaannya, dia dapat menekan rasa tidak puasnya akan hal ini. Dia menerima, walaupun aku tahu dengan berat hati, tapi dia tetap menerimanya, dan menjalani hubungan ini, serta menjadikanku wanita yang paling berbahagia di dunia.
Dia mengajariku banyak hal baru. Termasuk mengungkapkan rasa sayang kita kepada orang-orang yang kita sayang, selalu, setiap saat. Karena, katanya, cinta adalah hal indah yang harus selalu berulang kali diungkapkan dan dikatakan. Dia juga mengajariku menulis. Menumpahkan apa yang aku rasa, dalam bentuk tulisan. Banyak tulisan di awal blog ini, adalah gambaran betapa bahagianya aku memiliki Iwan. Betapa berwarnanya hidupku.
Hubungan kami berjalan. Dan tidak selalu manis. Banyak masalah yang timbul. Mungkin karena memang salahku, memulai sebuah hubungan yang aku tutupi. Pertentangan dari berbagai pihak yang sudah "mencium" adanya hubungan diantara kami berdua, sedikit banyak mengganggu kami. Iwan, adalah sebuah pribadi yang "merelakan pasangannya untuk berbahagia, dengan cara apapun" sedangkan aku, aku adalah sebuah pribadi yang percaya bahwa "kita harus berjuang mempertahankan cinta, dengan cara apapun".
Saat itu, aku kadang merasa bahwa Iwan menyerah. Ya, memang saat ini aku tahu, aku salah. Namun, saat itu, hal itulah yang aku rasakan.
Banyaknya masalah, dan banyak pertengkaran yang kami lalui. Hingga akhirnya hal itu terjadi. Aku berpaling dari Iwan. Jenuh, lelah, menghadapi ketidakpastian dalam menjalani hubungan, pertentangan dari banyak pihak, ditinggalkan teman-teman terdekat, membuatku sejenak berpaling dari Iwan. Berpaling ke sebuah sosok yang memiliki banyak persamaan denganku. Sosok yang semula aku kira, akan dengan cepat merubah hidupku, sosok yang berasal dari sebuah dunia yang berbeda. Aku berpaling, demi suatu hal yang semu dan benar-benar baru. Aku berpaling dan menorehkan luka, serta mengukir kenangan buruk yang tak mungkin terlupakan, di hidup Iwan.
Saat Iwan mengetahuinya, aku memohon dan memohon untuk kembali. Memohonnya untuk menerimaku lagi. Walaupun aku tahum akan sulit bagi Iwan untuk dapat menerima sebuah perselingkuhan. Tapi, karena cintanya yang besar, dia menerimaku, memaafkanku, dan sekuat tenaga berusaha untuk menyembuhkan luka hatinya. Dengan caranya, dia mengajariku untuk kembali ke jalan yang "lurus" dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun aku, tetap mengulanginya, sampai kali ketiga. Kecil harapanku, Iwan mau memaafkan dan menerimaku lagi. Aku tak mampu memohon, hanya memendam rasa sakit. Sakit, akibat perbuatanku sendiri
Hubungan kami berubah sejak kali pertama Iwan mengetahui perselingkuhanku. Tak ada lagi rasa percaya dari Iwan untukku. Pertengkaran makin kerap terjadi. Aku sadar, aku telah menorehkan luka yang terlalu dalam baginya. Namun sebesar apapun kesalahan yang telah aku lakukan, selalu Iwan memaafkan dan menerimaku lagi. Hal ini lebih menyakitkan bagiku, daripada makian atau teriakan. Dihantui rasa bersalah, adalah perasaan yang paling tidak mengenakkan. Menyiksa.
Iwan sering kali bertanya, mengapa sulit bagiku untuk lepas dari sosok itu. Dan aku, tak tahu harus menjawab apa. Karena semua kuawali tanpa pikir panjang. Hanya sejenak pelarian dari himpitan masalah. Banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bukan karena aku berbohong, tapi karena aku memang sekuat tenaga sedang berusaha melupakannya.
Hari demi hari, kulalui dengan tudingan dan desakan pertanyaan, yang mengajakku selalu menengok ke belakang, menggali ingatan yang sedang berusaha aku kubur dalam-dalam. Membuat sosok itu tetap "hidup" di antara kami.
Sungguh, ingin sekali aku melupakannya. Aku malu dengan kesalahanku. Aku malu dengan perselingkuhanku.
Ingin sekali kuraih kepercayaan Iwan. Ingin sekali kudapat cintanya. Walaupun aku sadar, hal itu tak mungkin sama, seperti saat pertama, karena aku terlanjur melukainya.
Sering kali ragu saat ingin mengungkapkan rasa cinta pada Iwan. Karena aku takut, jangan-jangan hal ini malah akan mengorek luka lamanya yang belum kering. Malu, karena bagaimana mungkin aku mengatakan cinta, setelah semua yang aku lakukan kepadanya. Kata-kata, sering kali menjadi bumerang bagiku. Aku takut.
Bulan ke 27 dari hubungan yang telah kucoreng, masih kujalani dengan harapan besar, akan masa depan kami. Harapan yang besar untuk bahagia kami. Aku masih berharap.
Itulah Iwan dan Aku. Siapapun yang membacanya, ketahuilah, bahwa aku mencintainya, dan sedang berusaha mempertahankannya di sisiku. Jangan ambil, jangan pisahkan. Karena aku mencintainya.