Senin, 26 Agustus 2013

Iwan dan Aku



 Ini adalah kisahku....
Yang aku tuturkan untuk menjawab
semua "mungkinkah" dan "mengapa"
Bacalah...
Teruskan jika suka,
namun berhentilah jika tak mampu meneruskan.
Karena...
Aku hanya ingin menuliskannya,
sebagai bagian dari perjalanan hidupku...
Awal dari semuanya...


Iwan dan aku, kami adalah sepasang manusia dengan sejuta perbedaan. Aku seorang wanita yang talk-active, temperamental, spontan dan moody. Sedangkan Iwan, seorang pria yang tenang, dewasa, selalu dapat mengendalikan perasaannya, namun sedikit sensitif. Kalau digambarkan, aku adalah api dan Iwan adalah air. Itu baru dari segi karakter. Masih ada lagi perbedaan kami. Kami berasal dari dua suku yang karena warisan sejarah, menjadi dua suku yang selalu bertolak belakang dalam hal apapun. Baik itu dari tradisi, cara hidup, dan cara memandang satu sama lain. Lalu untuk masalah keyakinan, kami masing-masing memeluk keyakinan yang berbeda, dan lagi-lagi, dua keyakinan yang sangat bertolak belakang secara ekstrem, khususnya di Indonesia.

Kami berawal dari sepasang sahabat, yang sering berbagi tawa, canda dan akhirnya cerita. Sepasang sahabat yang dipertemukan karena luka yang sama. Kegagalan kami dalam berumah tangga.

Iwan adalah tempatku bercerita, bertanya atau sekedar bersandar pada saat lelah menghampiri. Banyak hal baru yang aku temukan saat aku berbagi dengannya. Caranya memandang hidup, perjuangannya dalam mengatasi hidup, dan perjuangannya dalam mengalahkan egonya sendiri, membuatku memandangnya secara lebih. Melalui berbagai kisahnya, aku tahu betapa hebat perjuangannya menjalani hidup. Mengorbankan ego, demi dapat memahami arti hidup secara lebih. "Naik kelas" begitu Iwan selalu dengan candanya, menjelaskan mengapa dia melakukan semua itu. Mengenalnya lebih jauh, membuat mataku terbuka, bahwa hidup itu indah. Seperti yang selalu dikatakannya "Life is beautiful..." 

Iwan adalah seorang yang jujur. Baginya, kejujuran ada di atas segalanya. Itu prinsip terpenting dalam hidup ini, katanya.

Dari sepasang sahabat, kami menapak ke hubungan yang lebih serius.

Sebuah hubungan yang aku sembunyikan, karena keadaanku, karena ketakutanku. Aku tahu, ini sangat tidak adil bagi Iwan. Tapi, sekali lagi, dengan kedewasaannya, dia dapat menekan rasa tidak puasnya akan hal ini. Dia menerima, walaupun aku tahu dengan berat hati, tapi dia tetap menerimanya, dan menjalani hubungan ini, serta menjadikanku wanita yang paling berbahagia di dunia.

Dia mengajariku banyak hal baru. Termasuk mengungkapkan rasa sayang kita kepada orang-orang yang kita sayang, selalu, setiap saat. Karena, katanya, cinta adalah hal indah yang harus selalu berulang kali diungkapkan dan dikatakan. Dia juga mengajariku menulis. Menumpahkan apa yang aku rasa, dalam bentuk tulisan. Banyak tulisan di awal blog ini, adalah gambaran betapa bahagianya aku memiliki Iwan. Betapa berwarnanya hidupku.

Hubungan kami berjalan. Dan tidak selalu manis. Banyak masalah yang timbul. Mungkin karena memang salahku, memulai sebuah hubungan yang aku tutupi. Pertentangan dari berbagai pihak yang sudah "mencium" adanya hubungan diantara kami berdua, sedikit banyak mengganggu kami. Iwan, adalah sebuah pribadi yang "merelakan pasangannya untuk berbahagia, dengan cara apapun" sedangkan aku, aku adalah sebuah pribadi yang percaya bahwa "kita harus berjuang mempertahankan cinta, dengan cara apapun".
Saat itu, aku kadang merasa bahwa Iwan menyerah. Ya, memang saat ini aku tahu, aku salah. Namun, saat itu, hal itulah yang aku rasakan.

Banyaknya masalah, dan banyak pertengkaran yang kami lalui. Hingga akhirnya hal itu terjadi. Aku berpaling dari Iwan. Jenuh, lelah, menghadapi ketidakpastian dalam menjalani hubungan, pertentangan dari banyak pihak, ditinggalkan teman-teman terdekat, membuatku sejenak berpaling dari Iwan. Berpaling ke sebuah sosok yang memiliki banyak persamaan denganku. Sosok yang semula aku kira, akan dengan cepat merubah hidupku, sosok yang berasal dari sebuah dunia yang berbeda. Aku berpaling, demi suatu hal yang semu dan benar-benar baru. Aku berpaling dan menorehkan luka, serta mengukir kenangan buruk yang tak mungkin terlupakan, di hidup Iwan.

Saat Iwan mengetahuinya, aku memohon dan memohon untuk kembali. Memohonnya untuk menerimaku lagi. Walaupun aku tahum akan sulit bagi Iwan untuk dapat menerima sebuah perselingkuhan. Tapi, karena cintanya yang besar, dia menerimaku, memaafkanku, dan sekuat tenaga berusaha untuk menyembuhkan luka hatinya. Dengan caranya, dia mengajariku untuk kembali ke jalan yang "lurus" dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun aku, tetap mengulanginya, sampai kali ketiga. Kecil harapanku, Iwan mau memaafkan dan menerimaku lagi. Aku tak mampu memohon, hanya memendam rasa sakit. Sakit, akibat perbuatanku sendiri

Hubungan kami berubah sejak kali pertama Iwan mengetahui perselingkuhanku. Tak ada lagi rasa percaya dari Iwan untukku. Pertengkaran makin kerap terjadi. Aku sadar, aku telah menorehkan luka yang terlalu dalam baginya. Namun sebesar apapun kesalahan yang telah aku lakukan, selalu Iwan memaafkan dan menerimaku lagi. Hal ini lebih menyakitkan bagiku, daripada makian atau teriakan. Dihantui rasa bersalah, adalah perasaan yang paling tidak mengenakkan. Menyiksa.

Iwan sering kali bertanya, mengapa sulit bagiku untuk lepas dari sosok itu. Dan aku, tak tahu harus menjawab apa. Karena semua kuawali tanpa pikir panjang. Hanya sejenak pelarian dari himpitan masalah. Banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bukan karena aku berbohong, tapi karena aku memang sekuat tenaga sedang berusaha melupakannya.

Hari demi hari, kulalui dengan tudingan dan desakan pertanyaan, yang mengajakku selalu menengok ke belakang, menggali ingatan yang sedang berusaha aku kubur dalam-dalam. Membuat sosok itu tetap "hidup" di antara kami.

Sungguh, ingin sekali aku melupakannya. Aku malu dengan kesalahanku. Aku malu dengan perselingkuhanku.

Ingin sekali kuraih kepercayaan Iwan. Ingin sekali kudapat cintanya. Walaupun aku sadar, hal itu tak mungkin sama, seperti saat pertama, karena aku terlanjur melukainya.

Sering kali ragu saat ingin mengungkapkan rasa cinta pada Iwan. Karena aku takut, jangan-jangan hal ini malah akan mengorek luka lamanya yang belum kering. Malu, karena bagaimana mungkin aku mengatakan cinta, setelah semua yang aku lakukan kepadanya. Kata-kata, sering kali menjadi bumerang bagiku. Aku takut.

Bulan ke 27 dari hubungan yang telah kucoreng, masih kujalani dengan harapan besar, akan masa depan kami. Harapan yang besar untuk bahagia kami. Aku masih berharap.

Itulah Iwan dan Aku. Siapapun yang membacanya, ketahuilah, bahwa aku mencintainya, dan sedang berusaha mempertahankannya di sisiku. Jangan ambil, jangan pisahkan. Karena aku mencintainya.



 





Jumat, 16 Agustus 2013

Karena Cintamu Sempurna



Aku belajar mencintaimu
Mencintai Tanpa Syarat apapun
Meski kau yang tersulit untukku
Tapi aku tak ragu

Kini kita sudah semakin jauh
Bahkan sulit untuk kembali
Kuberi semua yang ada padaku
Tanpa syarat apapun

Aku ingin terus ada di hatimu
Aku lelaki yang tak bisa mudah menggantimu
Meski aku takut akan kelemahanmu
Ku takkan lari karena cintaku sempurna

Kini kita sudah semakin jauh
Bahkan sulit untuk kembali
Kuberi semua yang ada padaku
Tanpa syarat apapun

Aku ingin terus ada di hatimu
Aku lelaki yang tak bisa mudah menggantimu
Meski aku takut akan kelemahanmu
Ku takkan lari karena cintaku sempurna


(Cinta Tanpa Syarat - song by Afgan)


Sebuah lagu yang kau kirimkan, setelah semua sakit yang kau dapatkan, dari mencintaiku.
Penuh air mata kubaca perlahan kata demi kata dalam lagu ini. Seolah suaramulah yang berbisik lirih dan pedih di telingaku. Tersayat hatiku mendengar alunan nada dan lirik lagunya.

Terbayang semua perbuatanku padamu. Terbayang betapa terlukanya dirimu. 
Aku sampai tak mampu memohon untuk kembali. Aku hanya terdiam, menahan dan menelan semua luka hati, luka yang aku sebabkan sendiri. Sakit yang menyiksa, akibat perbuatanku sendiri.
Ingin mengadu, tapi sangat merasa tak pantas. 

Hari demi hari berlalu bagai neraka. Hidup serasa sangat menyiksa. Hampir tak sanggup aku menanggungnya.

Lalu kau datang, datang kembali, dengan segala pengampunan dan cinta yang sama. Tercekat aku memandang sosokmu, yang terpampang nyata di hadapanku. Saat kutanya, kenapa kau datang, kau hanya menjawab karena cintamu padaku, sempurna.

Sesosok lelaki yang akan selalu aku perjuangkan, telah membuktikan, bahwa cintanya yang sempurna mampu mambasuh semua luka di hatinya, yang telah hancur dan terkoyak, berulang kali, karena kesalahanku yang sama. Dia mencintaiku dengan begitu sempurna, dengan segala yang ada pada dirinya. Memberikanku sayap untuk dapat terbang, tapi dia juga memberiku akar yang kokoh untuk selalu kembali dan dia memberikanku alasan yang kuat untuk tetap tinggal di sisinya. Karena cintanya padaku, sempurna.

Terima kasih untuk selalu mencintaiku, Yuliawan Indra Budhi.
Ijinkan aku bersama waktu, membuktikan bahwa aku juga memiliki cinta yang sama untuk dirimu.

10.06.2011 - 10.08.2013

Rabu, 14 Agustus 2013

Bola golf, Batu koral, pasir, dan kopi




Seorang professor berdiri di depan kelas filsafat dan mempunyai beberapa barang di depan mejanya. Saat kelas dimulai, tanpa mengucapkan sepatah kata, dia mengambil sebuah toples mayones kosong yang besar dan mulai mengisi dengan bola-bola golf.
Kemudian dia berkata pada para muridnya, "apakah toples itu sudah penuh?"
Mereka menyetujuinya.
Kemudian dia mengambil sekotak batu koral dan menuangkannya ke dalam toples. Dia mengguncang dengan ringan. Batu-batu koral masuk, mengisi tempat yang kosong di antara bola-bola golf.
Kemudian dia bertanya pada para muridnya, "apakah toples itu sudah penuh?"
Mereka setuju bahwa toples itu sudah penuh.
Selanjutnya profesor mengambil sekotak pasir dan menebarkan ke dalam toples.
Tentu saja pasir itu menutup segala sesuatunya. Profesor sekali lagi bertanya, "apakah toples sudah penuh?"
Para murid dengan suara bulat berkata, “Yes”
Profesor kemudian menyeduh dua cangkir kopi dari bawah meja dan menuangkan isinya ke dalam toples, dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir. Para murid tertawa.
“Sekarang,” kata profesor ketika suara tawa mereda, “Saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupanmu.”
Bola-bola golf adalah hal-hal yang penting – Tuhan, keluarga, anak-anak, kesehatan, teman dan para sahabat. Jika segala sesuatu hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh. Batu-batu koral adalah segala hal lain, seperti pekerjaanmu, rumah dan mobil. Pasir adalah hal-hal yang lainnya – hal-hal yang sepele.
Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples,” lanjut profesor, “Maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu-batu koral ataupun untuk bola-bola golf. Hal yang sama akan terjadi dalam hidupmu.”
“Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal yang sepele, kalian tidak akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang penting buat kalian.”
“Jadi …”
Beri perhatian untuk hal-hal yang kritis untuk kebahagiaanmu. Bermainlah dengan anak-anakmu. Luangkan waktu untuk check up kesehatan. Ajak pasanganmu untuk keluar makan malam. Akan selalu ada waktu untuk membersihkan rumah dan memperbaiki perabotan.”
“Berikan perhatian terlebih dahulu kepada bola-bola golf – Hal-hal yang benar-benar penting. Atur prioritasmu. Baru yang terakhir, urus pasir-nya.
Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya, “Kopi mewakili apa?”
Profesor tersenyum, “Saya senang kamu bertanya. Itu untuk menunjukkan kepada kalian, sekalipun hidupmu tampak sudah begitu penuh, tetap selalu tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat.”

Bulan kepada Malaikat




 Menyakitkan bagiku saat tahu,
dia menganggapmu seagung Malaikat
 Karena...
Aku bukan lagi Pelangi baginya
Aku hanyalah Bulan
Karena segala kesalahan dan kelemahanku,
baginya aku menjadi tak berwarna

Dia tidak membutuhkan Bulan,
karena dia tetap mencari Pelangi

Jikalau engkau memanglah sesuci namamu,
dan seagung Malaikat,
seharusnya kau tak perlu hadir mendampinginya
saat ini.
Saat dimana aku kehilangan warnaku di matanya

Aku sangat membencimu!
Karena saat kau berada di sekitarku dan Dia,
kau menjelma menjadi Bayangan
Bulan dengan sinar pucat tak berwarnanya,
dan Malaikat dengan bentuk indahnya,
bila berdekatan, hanya akan menciptakan sebentuk bayangan.
Bayangan yang terus mengikuti langkahnya.
Bayangan yang berbentuk Malaikat.

Jikalau engkau memanglah sesuci namamu,
dan seagung Malaikat,
Kau tak perlu hadir di antara kami

Baginya, dan selamanya, kau tetaplah Malaikat
Namun...
Bagiku kau tetap sebentuk Bayangan,
yang mengganggu dan menghalangi pandangan
dan terus mengikuti

Aku membencimu!