Rabu, 25 Januari 2012
Canting Batikku
Aku menatap kain batikku.
Separuh terlukis, belum selesai ...
Tapi cantingku terdiam di tempatnya,
tak mau bergerak.
Terdiam dan tak mau melanjutkan melukis.
Terdiam dan tak mau menyelesaikan apa yang telah dimulainya.
Tak seperti biasanya ....
Cantingku selalu bergerak lincah dan penuh semangat ...
Menorehkan lengkungan-lengkungan indah,
yang membentuk lukisan menakjubkan dalam kain batikku.
Walau kadang lengkungan yang ditorehkannya salah dan tidak tepat ...
Namun cantingku selalu mampu merubahnya menjadi lukisan yang lain ...
Lukisan yang sama indah maknanya.
Kini, entah kenapa ....
Cantingku tak mau bergerak.
Lalu aku teringat ....
Dari awal aku melukis dengan canting di kain batikku ...
Beratus kali tetesan lilin panas melukai tanganku.
Panas menyengat dari lilin cair yang menetes di jariku.
Namun, tanganku selalu mampu kembali mengangkat cantingku,
melanjutkan melukis indahnya kain batikku.
Sekali lagi ...
Lilin panas menetes di tanganku.
Kali ini di kedua tanganku.
Hingga tak mampu tanganku saling membantu mengangkat cantingku.
Lukanya cukup lebar dan masih terasa perih.
Apakah ini yang membuatku terhenti menggoreskan cantingku?
Aku tidak tahu ...
Apakah kain batikku harus mengunggu?
Apakah kain batikku harus berhenti kulukis?
Apakah kain batikku akan aku lupakan?
Aku hanya tak mampu menggoreskan cantingku ...
Semuanya terasa buntu ...
Aku tidak tahu, lengkung macam apa yang akan aku goreskan.
Aku tidak bersemangat menggerakkan cantingku.
Karena rasa perih itu sangat mengangguku.
Karena luka di kedua tanganku.
Atau mungkin....
Aku memerlukan tangan lain, untuk membantuku mengangkat cantingku.
Mungkin aku memerlukan tangan lain,
untuk membimbingku kembali menggoreskan cantingku.
Perlahan namun pasti menuntunku,
agar cantingku dapat kembali bergerak lincah.
Atau mungkin ....
Aku memerlukan tangan lain,
bukan untuk membantuku melanjutkan melukis kain batikku.
Mungkin aku memerlukan tangan lain,
untuk sekedar sejenak mengambil dan meletakkan cantingku,
mengusap lembut tanganku,
serta merawatnya agar lukaku sembuh dan mengering.
Mungkin aku harus mengakui,
tak mampu lagi aku mengangkat cantingku seorang diri.
Aku tidak tahu ...
Aku hanya terdiam dan terpaku,
saat cantingku berhenti melukis di kain batikku.
250112
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar