Minggu, 08 Januari 2012

Tetanggaku dan Sendal Jepit Suaminya

Sebagai perempuan yang bekerja, jarang sekali aku melakukan tugas ini: belanja di tukang sayur keliling.  Hari ini aku mendapat kesempatan langka itu. Pada saat aku keluar rumah dan bergabung dengan ibu-ibu lainnya mengelilingi si Tukang Sayur, tanpa sengaja telingaku menangkap percakapan yang lucu. Percakapan antara dua orang tetanggaku. Mata dan tanganku sibuk memilah-milah dagangan di gerobak si Tukang Sayur, tapi telingaku yang sudah terlanjur tergoda oleh sepenggal kisah dari tetanggaku, memaksa untuk mencari tahu kelanjutan ceritanya.
Sendal jepit. Itulah topik yang sedang dibicarakan kedua tetanggaku. Namun yang menarik dan menggoda rasa ingin tahuku bukan mengenai sendal jepitnya, melainkan makna sebenarnya dari kisah si alas kaki ini.
Berawal dari perhatian dan rasa sayang seorang istri, yang bermaksud disampaikan secara diam-diam kepada suaminya. Melihat sendal jepit sang suami yang sudah lusuh dan jelek, si istri membeli sepasang sendal jepit merk ternama yang  terbilang cukup mahal. Lalu diam-diam diletakkan di rak sepatu mereka, dan sendal jepit lusuh itu dia berikan kepada tukang kebun yang dia lihat pada saat itu bertelanjang kaki kemana-mana. Bukan ucapan terima kasih yang dia terima, melainkan keributan yang cukup heboh di pagi hari. Sang suami bersikeras mencari dan menghendaki sendal jepit lamanya kembali.
Sambil bersungut-sungut si istri bercerita kepada tetangganya alasan mengapa sang suami ngotot menginginkan sendalnya kembali. Si tetangga menanyakan, alasan si istri mengganti sandal tersebut. “Sudah buluk, nggak enak di lihat.” Lalu dengan entengnya sang suami berkata “Nggak semua yang udah lama dan nggak secantik barang baru, harus diganti dengan yang enak dilihat. Ini baru sandalku kamu ganti, kalo nanti aku udah nggak enak dilihat, apa iya mau kamu ganti juga?” Bukannya bersimpati, si tetangga menyambut cerita ini dengan tertawa berkepanjangan, yang memancingku juga turut tersenyum simpul.
Kadang bagi kita, khususnya kaum perempuan, penampilan merupakan faktor utama. Banyak dari kita yang rela repot dan bersusah payah demi menjaga penampilan. Mulai dari cara alami yang memerlukan proses (seperti aerobik, fitness, pilates dll) sampai cara instan (slimming wrap, liposuction, botox, dll). Tak jarang proses tersebut mahal dan menyakitkan.
Bagi yang sudah bersuami, alasannya adalah sebagai salah satu upaya untuk menjaga keutuhan rumah tangga, agar suaminya tidak tergoda dengan yang lain. Bagi yang masih sendiri, alasan adalah untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bagi perempuan bekerja, menjaga penampilan termasuk salah satu faktor penunjang karirnya. Karena bukan rahasia lagi, di dunia kerja, apalagi bagi mereka yang bergerak di bidang pemasaran seperti aku, penampilan merupakan salah satu value added. Namun tidak hanya para perempuan bekerja, para ibu rumah tangga yang nota bene tidak bekerja kantoran, justru tidak jarang lebih bekerja keras menjaga penampilan, supaya para suami yang bekerja di kantoran, tidak melirikkan matanya pada rekan-rekan sejawatnya yang berpenampilan modis dan manis.
Aku termasuk orang yang sangat memperhatikan penampilan. Pantang keluar rumah kalau tidak matching. Sebenarnya awalnya hanya kebiasaan, namun lama-lama menjadi semacam kewajiban. Aneh rasanya kalau tampil sembarangan. Ini mempengaruhi mood seharian. Rasa percaya diri bisa drop apabila tidak dress up dengan baik. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, harus sempurna tertata rapi. Alasan apa yang membuatku jadi begini? Tidak ada. Hanya merasa puas kalau bisa tampil chic.
Tapi kalimat dari sang suami tadi sedikit banyak membuat aku berpikir, kadang hanya kita pribadi yang terlalu mempersoalkan penampilan kita. Orang-orang di sekeliling kita belum tentu beranggapan yang sama. Masih banyak orang yang lebih mementingkan fungsi daripada penampilan. Percakapan ringan yang kudengar hari ini cukup menghibur dan mengingatkanku, bahwa tetap saja kita memiliki cara pandang yang berbeda-beda dan tidak perlu dipersoalkan. Mungkin aku harus lebih sering ikut belanja bersama para ibu di lingkunganku. Mungkin lain hari akan ada cerita lain lagi yang mereka bagikan. Atau bukannya tidak mungkin justru aku suatu saat yang akan membagikan ceritaku pada mereka.
Berbagi. Tidak harus dilakukan secara serius. Bisa lebih mengena apabila dilakukan secara santai. Mungkin makna cerita si sendal jepit akan diartikan berbeda bagi para pendengar yang lain. Tidak masalah, setiap orang boleh punya penafsiran yang berbeda-beda. Kita bebas menyarikan suatu cerita yang kita dengar dan menyimpulkan hal positif yang terkandung di dalam cerita tersebut.

Have a nice weekend. God Bless.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar